Senin, 21 September 2015

Menunggumu di Gerbang


Beberapa waktu lalu, seperti menari di awan ku lihat diriku, batinku bahagia seperti hidup dalam taman Surgawi, meski sesungguhnya aku tak bisa menjangkau Suasana Surga dalam bayangku, Itu hanya majas hiperbola yang kuselipkan melalui sel-sel neuron otakku karna rasa bahagia yang besar. Bahagiaku ini bukan bahagia yang egois. Kebahagiaanku adalah melihatmu kembali pada jalan lurus yang telah lama kau tinggalkan. Ku harap kau setia selalu. Namun realitas tak sesuai dengan harapku. kau berhenti tanpa memetik buah apapun dari aktifitasmu. ku fikir kita bisa kembali berlari bersama, melarikan fikiran kita jauh kebanyak arah, tak terbatas. sayang, kau memilih berhenti.

Beberapa saat aku merasa berdosa pada diriku. Rasanya sperti membiarkan anak kecil yang terjatuh berkali-kali, rasanya sperti membiarkan seorang sakit yang hampir jatuh ke Jurang. Seperti Tuhan mengetuk pintu hatiku, tergerak batinku ingin mengubah hidupmu. Entahlah, siapa aku ini selain gadis 20 tahun yang belum banyak makan garam.. Tapi gerakan itu terus bergejolak. Berbagai cara ku tempuh. Hasilnya nihil, sampai berujung pada sesalku. Ku hentikan dengan keras kepedulian. Namun bukan berarti aku membenci, bukan berarti aku acuh. Biar Tuhan yang mengetuk pintu hati. Maka kini ku putuskan, sekiranya nanti seiring waktu menghantarkanmu pada pembaharuan diri, aku masih menunggumu di gerbang. Semoga Tuhan mengetuk pintu hati. 

Mengapa aku begitu memperdulikanmu? aku sendiri tak mengerti jawabnya. Seseorang dengan kepribadian spertimu sesungguhnya tak menarik sedikitpun bagiku. Maka jangan tanya hal itu. Kalau aku utarakan bahwa Tuhan menggerakkan hatiku, apa kamu percaya? 

Hidup itu harus punya perkembangan yang progresif, hidup itu harus punya makna, hidup itu harus berusaha menjadi berkat. itu esensi hidup bagiku. Aku ingin orang disekitarku memahamiku dan menganut prinsip yang sama denganku. termasuk dirimu.